Mikey Moran, Bicara Peluang dan Tantangan Era Digital Indonesia
by The Daily Oktagon
Publik mengenal
Michaelangelo Moran, atau Mikey Moran, sebagai salah satu pendiri aplikasi berbasis transportasi
ojek, Go-Jek, sekaligus disc jokey alias DJ. Tidak banyak orang yang mengetahui sisi lainnya sebagai seorang desainer. Lulusan Academy of Art, San Francisco AS ini menuturkan, Go-Jek sebagai klien pertamanya.
“Saya yang mendesain logo, website, dan seragamnya,” ujar Mikey kepada The Daily Oktagon, di kantor Go-Jek, Kemang, Jakarta Selatan, pertengahan Agustus 2015. “Website, motion graphics, video, audio, print, imaging. You name it, I did it,” ujarnya.
Ketika Nadiem Makarim, sahabatnya sejak lama, memperlihatkan business plan Go-Jek yang saat itu masih bernama Go-Bike, pada Agustus 2010, Mikey segera melihat peluang. Tanpa pikir panjang, dia mau gabung dan berinvestasi. Tidak disangka, dalam lima tahun, perusahaan berbasis teknologi digital itu memberikan dampak yang begitu besar bagi masyarakat.
“Ketika mencoba mengambil peluang yang belum diambil oleh orang lain, Anda harus
take a leap of faith,” ujar Mikey yang juga
co-founder Semua Properties Bali dan
Arc MediSpa.
The Daily Oktagon berkesempatan mewawancarai lelaki yang masih suka memotret dengan kamera digital ketimbang ponsel ini. Simak obrolannya, Mikey Moran bicara tentang peluang dan tantangan era digital Indonesia.
Sebagai technopreneur, apa pendapat Anda tentang tren teknologi saat ini?
Menurut saya, tren media sosial saat ini membantu banyak bisnis. Saya bicara dari sisi Go-Jek, di mana teknologi membantu kami dari awal, bahkan sebelum kami punya aplikasi mobile. Ketika itu, kami masih menggunakan Google Maps untuk mengkalkulasi harga berdasarkan jarak.
Ketika kami pindah ke aplikasi mobile, Indonesia sudah memasuki era smartphone. Seperti Anda ketahui, kami melengkapi pengendara Go-Jek dengan smartphone sebagai perangkat yang memberikan akses luas bagi orang-orang yang ingin mempromosikan bisnis.
Apakah ada peluang dari sisi bisnis?
Saya sendiri, sebagai seorang DJ, merasakan keuntungan menggunakan media sosial sebagai sarana mempromosikan acara. Dulu, untuk mempromosikan acara, kita harus membagi-bagikan flyer. Sekarang sudah ada grup WhatsApp, Instagram, atau Path. Jangkauannya jadi lebih luas. Namun, karena semua orang melakukannya, jadi ada kompetisi. Anda harus above and beyond, mencoba mencari strategi dan cara baru agar bisa terus di atas kompetisi.
Di luar negeri, booming Internet of Things (IoT) terjadi karena budaya masyarakatnya suka membuat sendiri barang yang diperlukan (Do It Yourself). Menurut Anda, apakah kultur masyarakat Indonesia memungkinkan terjadinya ledakan yang sama?
Indonesia sangat kreatif dalam berbagai hal. Misalnya, saya seringkali menemukan
meme tentang Go-Jek. Dalam membuat produk IoT, kita sangat bergantung dengan teknologi. Mengenai peluang bagi orang-orang Indonesia menciptakan produk IoT, saya sendiri belum pernah melihat. Mungkin di luar sana ada orang Indonesia yang sudah mulai membuatnya.
Apakah Go-Jek berencana mengadopsi teknologi IoT? Misalnya, menciptakan alat yang lebih memudahkan pengemudi Go-Jek memantau order, mengecek peta, dan lainnya tanpa smartphone?
Sepertinya belum. Saat ini pendanaan kami masih berfokus untuk menambah armada. Pembuatan aplikasi dan ponsel bagi pengendara Go-Jek sudah memerlukan anggaran yang besar.
Ponsel memang bisa dibeli dengan cara dicicil. Tapi, kami masih concern pada operasional pengendara Go-Jek, klinik medis, dan pembiayaan sepeda motor. Bagi kami, aplikasi Go-Jek sendiri sudah merupakan lompatan ke depan.
Salah satu visi Go-Jek adalah membuat Indonesia melek teknologi. Sejauh ini, sudah sejauh mana perkembangannya? Bagaimana kontribusi Anda dalam mengedukasi masyarakat Indonesia yang belum tersentuh dengan teknologi?
Go-Jek dilahirkan dengan visi membantu orang. Membuat teknologi yang dapat membantu dan memberikan dampak pada masyarakat adalah driving force kami. Banyak pengemudi Go-Jek yang tidak punya pengalaman dengan teknologi digital karena belum pernah mengoperasikan smartphone.
Banyak juga yang baru pertama menggunakan mobile bank account. Namun, mereka berpikir terbuka, berani mengambil kesempatan, dan meraih manfaat dari situ.
Misalnya, saya baru-baru ini ngobrol dengan salah satu pengendara. Baru satu minggu dengan Go-Jek, ia sudah mendapatkan penghasilan di atas Upah Minimum Provinsi. Dalam catatan kami, rekor penghasilan pengendara Go-Jek dalam sebulan mencapai Rp 15 juta.
Ini berkaitan dengan peran kami mengedukasi publik. Anda bisa menciptakan teknologi. Tapi, ketika teknologi punya dampak begitu besar dan mengubah cara hidup orang banyak, itu adalah cara Anda mengedukasi masyarakat
Saat ini, lewat layanan Go-Food, teknologi Go-Jek tidak hanya memberikan dampak ke masyarakat, tetapi juga ke pelaku bisnis. Salah satu contoh, sebuah restoran makanan meraih Rp 800 juta dari pemesanan lewat Go-Food. Kami tidak melakukan edukasi ke para pemilik restoran, bahwa mereka harus ini atau itu, mereka bahkan tidak menandatangani surat perjanjian apa pun. Kami hanya memasukkan informasi berbagai bisnis makanan ke database, yang saat ini sudah berjumlah sekitar 200 ribu restoran.
Dari pengamatan Anda, seperti apa landscape digital lifestyle di Indonesia?
Kita hidup di era smartphone. Ini sangat menarik, dengan smartphone kita bisa benar-benar membuat apa saja. Seperti slogan Apple saat pertama meluncurkan App Store, “There’s an App for That.” Dulu saya sangat frustrasi saat harus ke ATM hanya untuk transfer uang. Sekarang ini bisa dilakukan dari rumah dengan mobile banking.
Lantas, apa visi Anda tentang digital lifestyle Tanah Air?
Di era digital seperti sekarang ini, tidak ada batasan dalam pemanfaatan teknologi. Perspektif saya, dari sisi Go-Jek, bisa dibilang sebagai tolak ukur apa yang harus orang-orang lakukan saat ini. Anda harus berada above the game.
Mengutip dari sebuah artikel di Tech in Asia yang pernah saya baca, Anda tidak boleh berada di belakang. Harus jadi orang pertama masuk ke ruang baru itu untuk sukses.
Dari sisi kompetisi di era digital, apa yang harus dilakukan dalam berhadapan dengan kompetitor?
Anda harus bisa menciptakan suatu evolusi. Seperti Go-Jek, dengan adanya kompetitor seperti Grab Bike, kami selalu on our toes to be above of the game. Kalau boleh saya bilang, kami berhadapan dengan raksasa jika dilihat dari segi finansial. Strategi bisnis yang kami rencanakan sebulan lalu, bisa saja langsung kami rombak total. Pesan saya, jangan hanya above the game, tetapi juga reaktif dan adaptif.
Ada pendapat yang menyatakan Go-Jek berkontribusi pada perubahan behaviour masyarakat Indonesia menjadi lebih modern. Apakah tujuan ini sudah tercapai, atau adakah aspek digital lifestyle yang belum tersentu perusahaan Anda?
Walau Go-Jek mendapat begitu banyak ekspos di media, didudukung oleh Gubernur, Presiden, dan Wakil Presiden Indonesia, kami tidak punya pengedara Go-Jek yang cukup buat memenuhi kebutuhan semua orang. Tujuan kami adalah adalah membantu sebanyak mungkin masyarakat.
Contoh sederhana, misalnya saya memberitahukan aplikasi Go-Jek lima bulan yang lalu kepada Anda. Saat itu, Anda tidak akan segera mengunduhnya. Tidak ada buzz, tren, atau hype. Lalu, ada referral code, yang memberikan Anda kredit Rp 50 ribu untuk bisa mencoba layanan Go-Jek secara gratis.
Lalu Anda coba dan barulah kepincut. Itu adalah tujuan yang mau kami raih, mereka yang belum punya aplikasinya dan tidak punya alasan kenapa harus menggunakan Go-Jek.
Kehadiran teknologi baru selalu dibarengi dengan gesekan dan pertentangan. Bagaimana peran Go-Jek mengedukasi masyarakat bahwa teknologi bukanlah ancaman?
Teknologi membuat hidup jadi lebih efisien. Saat menciptakan teknologi, Anda berangkat dari masalah yang dihadapi semua orang dan apa yang kita harus lakukan untuk memecahkannya. Lalu lahirlah teknologi yang kita buat untuk memecahkan masalah itu. Orang harus berpikiran terbuka sehingga tidak takut menggunakan teknologi itu.
Sehari-harinya kita menangani begitu banyak hal, dan kita ingin membuat hidup lebih mudah. Teknologi selalu ada untuk membantu memecahkan masalah, jadi kita seharusnya tidak takut menggunakannya.
Edukasi kami lahir sendirinya dari testimoni (pengguna), mengenai bagaimana Go-Jek membantu dan membuat begitu banyak orang bahagia.
Menurut Anda, apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah atau pelaku bisnis untuk meningkatkan adopsi teknologi di masyarakat Indonesia?
Apa yang kurang dari pemerintah kita adalah visi dan juga pendanaan. Saya melihat Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, adalah pemimpin yang berpihak pada kepentingan rakyat. Saya kagum dengan programnya, Smart City.
Beliau berpikir jauh ke depan dengan menciptakan portal agar orang bisa mengakses informasi yang relevan dengan keseharian mereka. Seperti rute dan jadwal kedatangan Transjakarta. Walaupun ada hambatan, visi beliau sudah mengarah ke adopsi teknologi).
Contoh simpel (yang perlu dilakukan pemerintah) adalah dalam hal pariwisata. Pihak terkait bisa membuat situs atau aplikasi mobile yang berisi informasi destinasi wisata di Indonesia, seperti TripAdvisor. Negara ini bisa jadi lebih kaya jika pemerintah berpikiran maju dan membuka akses ke informasi, terutama di era smartphone ini.
Sektor industri kreatif berbasis teknologi dan internet di Indonesia sedang mengalami krisis SDM. Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi krisis ini?
Saya selalu percaya pada solid education. Ini harus dimulai dari bawah, dari usia dini. Saya pikir, cukup jelas bahwa sistem pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan. Tidak hanya sistem pendidikan secara umum, tetapi juga membuat program-program atau creative workshops yang merangsang kreativitas dari kecil.
Kita, sebagai orang dewasa, juga harus mengenali bakat-bakat muda itu, kemudian mendorongnya. Itu yang terjadi di Amerika dan Eropa: mengenali bakat mentah kemudian membinanya hingga anak itu menjadi bintang.
Terakhir, apa yang sedang disiapkan oleh Go-Jek?
Dalam waktu ke depan, kami akan merilis enam produk baru. Saya belum bisa bicara banyak. Sedikit memberikan bocoran, mungkin saja layanan ini tidak melibatkan ojek. Kami juga terus ekspansi ke luar kota. Hingga akhir tahun ini, Go-Jek akan melebarkan layanannya hingga ke delapan kota di Indonesia.