Indonesia merupakan salah satu pasar ekonomi digital besar. Namun, jalan Indonesia menuju sebuah kekuatan ekonomi digital dunia tidak mudah. Perlu terobosan regulasi dari pemerintah. Jokowi menunjukkan punya ketertarikan besar terhadap perkembangan teknologi dan inovasi di dunia digital. Lebih dari itu, e-consumerIndonesia adalah yang paling menjanjikan di dunia.
tirto.id - Presiden Joko Widodo terlihat santai dan gembira ketika berkunjung ke beberapa markas raksasa internet di Silicon Valley. Tidak seperti forum-forum luar negeri yang harus dihadirinya dengan presentasi yang bikin dahi berkerut, kunjungannya ke kantor Google, Facebook, Twitter, dan Plug and Play pada 19 Februari itu seperti bertandang ke rumah teman main. Dalam banyak kesempatan, Jokowi tampak tertawa lepas.
Di kantor Facebook, si CEO Mark Zuckerberg, yang seperti biasa berpenampilan kasual dengan kaos oblong abu-abu dan celana jeans biru, langsung mengajak Jokowi bermain ping-pong virtual dengan perangkat Oculus Rift. Mengenakan batik biru berlengan panjang, Jokowi langsung menjajal permainan mahal dan canggih itu. Jokowi menunjukkan dengan baik, betapa ia bersenang-senang di sana dan punya ketertarikan besar terhadap perkembangan teknologi dan inovasi di dunia digital.
Meski terlihat santai, kunjungan ini tentu saja bukan untuk main-main. Ditemani Ibu Negara Iriana yang memakai setelan kebaya berwarna werah dan jilbab pink, Presiden Jokowi membawa misi khusus di Silicon Valley. Ia melihat bahwa ekonomi digital adalah ekonomi masa depan, dan menginginkan sektor ini tumbuh pesat di Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Tak tanggung-tanggung, di sana, ia mencanangkan target untuk melahirkan seribu teknopreneur per 2020.
Di dinding kantor Plug and Play, perusahaan yang banyak berinvestasi untuk teknologi digital, Jokowi menulis: "Rintis bersama, sejahtera bersama." Ini merupakan pesan sekaligus sinyal keseriusan Jokowi mendorong perusahaan rintisan berbasis digital agar berperan lebih besar di bidang ekonomi.
"Saya harap Plug and Play ambil bagian dalam visi Indonesia menjadi pemain ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, yang akan mencapai USD 130 miliar pada 2020," kata Jokowi ketika bertemu Saeed Amidi, pendiri dan CEO Plug and Play.
Di Googleplex, Jokowi disambut CEO Google Sundar Pichai dengan makanan khas Indonesia untuk makan siang. Dalam kesempatan yang dihadiri oleh banyak karyawan Google asal Indonesia itu, Pichai setuju akan melatih 100.000 developer mobile di Indonesia, baik melalui kampus-kampus maupun kelompok-kelompok kreatif lainnya, sebelum 2020.
Bumi memang sedang dalam perjalanan menjadi planet digital. Semua negara, baik berlomba-lomba maupun tidak, dengan atau tanpa usaha, perlahan-lahan ikut melangkah ke sana. Peradaban digital menunggu di depan mata. Niat dan usaha pemerintahan Jokowi untuk membawa Indonesia terdepan dalam ekonomi digital tentu layak diacungi jempol.
Tapi, semudah itukah mewujudkan impian untuk memajukan perekonomian digital Indonesia? Apakah cukup dengan kunjungan presiden ke jantung peradaban digital? Jalan panjang dan berliku sepertinya masih harus dilalui. Selain tantangan, hambatan dan rintangan yang akan menghadang tidaklah sedikit dan bukan perkara sepele.
Internet sebagai Pasar Global
Dalam satu dan lain hal, internet telah menjadi semacam semangat zaman. Rasanya, tidak berlebihan jika milenium ketiga ini disebut sebagai era internet. Sebab, ia kini tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia di alam ini.
Dua puluh empat tahun setelah World Wide Web pertama kali dikenalkan, sekarang internet telah menjembatani interaksi kurang lebih 50 persen penduduk dunia. Hanya perlu waktu 12 tahun hingga pengguna internet mencapai 1 miliar. Di tahun-tahun berikutnya, ditemani perkembangan telepon genggam yang berpengaruh besar bagi internet – juga sebaliknya, pertumbuhan itu seperti tak bisa dibendung lagi. Hingga kini angkanya mencapai 3,3 miliar.
Pada mulanya, internet hanya dimanfaatkan sebagai sarana mencari informasi (browsing) dan surat-menyurat (email). Dalam perkembangan mutakhirnya, setelah booming media sosial, internet telah menjadi sarana untuk berbagai transaksi ekonomi. Bukan lagi pemandangan aneh jika hari-hari ini seseorang memenuhi nyaris semua kebutuhannya melalui ponsel, berbelanja (bahkan banyak juga yang berjualan) barang dan jasa melalui situs-situs e-commerce. Para pengguna internet kini tak lagi sekadar pengguna biasa. Dalam batas tertentu, mereka telah bertransformasi menjadi e-consumers.
Miliaran pengguna internet, yang kini terhubung satu sama lain hanya dengan ponsel, merupakan tanah yang menjanjikan untuk peluang-peluang bisnis baru dan lahan empuk bagi pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi. Pertumbuhan iklan digital demikian pesat, hingga mengancam segala promosi cetak dan fisik. Perlahan-lahan, internet mulai menjadi roda raksasa penggerak ekonomi global.
Kehebohan seputar Alibaba, perusahaan e-commerce asal Cina, merupakan contoh terbaik bagaimana internet semakin memainkan peran yang tidak kecil bagi perekonomian dunia. Alibaba, bersama raksasa e-commerce asal Amerika, Amazon, menjadi magnet bagi miliaran orang untuk beraktivitas ekonomi di sana. Para investor pun tak mau ketinggalan. Mereka mulai melihat peluang besar untuk berinvestasi di sektor ini.
Selain Amazon dan Alibaba, lahir sejumlah startup e-commerce lain di berbagai berlahan dunia. Mereka ikut meramaikan dan memperbanyak pilihan bagi para konsumen untuk belanja online. Untuk menyebut beberapa, di Afrika ada Jumia, Namshi di Timur Tengah, Jabong di India, Lazada dan Zalora di Asia Tenggara, dan Kaymu yang beroperasi melintasi Afrika, Asia, Eropa serta Timur Tengah.
Kesempatan Indonesia
Bukannya tanpa peluang, ekonomi digital Indonesia punya gugusan potensi besar yang tak dimiliki semua negara. Meski tidak didukung sistem pendidikan yang progresif, putera-puteri milenial Indonesia tumbuh menjadi generasi cerdas dan memiliki kemampuan luar biasa untuk bicara banyak di kancah global.
Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia adalah berkah tersendiri, baik sebagai tenaga kerja untuk menopang perekonomian maupun sebagai pasar. Lebih dari itu, e-consumer Indonesia adalah yang paling menjanjikan di dunia. Setengah dari total 253 juta populasinya adalah anak muda di bawah usia 30 tahun.
Maka tak heran bila jumlah pengguna internet di Indonesia akan terus merangkak naik. Saat ini, jumlahnya mencapai 103 juta orang. Pada 2019, dengan asumsi Compound Annual Growth Rate (CAGR) per tahun 9,79 persen, diperkirakan jumlahnya akan membengkak hingga 133,5 juta pengguna. Sejalan dengan perkembangan global, pengakses internet melaui ponsel juga semakin banyak jumlahnya.
Dalam hal transaksi e-commerce, Indonesia bahkan menunjukkan pertumbuhan yang fantastis. Hingga akhir tahun 2015, jumlah transaksi e-consumer Indonesia telah mencapai USD 3,56 miliar, naik 42,4 persen dari tahun sebelumnya. Tahun ini, pertumbuhannya diestimasi akan mencapai 53,23 persen.
Semua data di atas adalah potensi pasar. Namun, sejatinya yang paling menentukan apakah Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam ekonomi digital adalah penciptaan teknologi itu sendiri. Bagaimana para tenaga kreatif Indonesia merespons pertumbuhan pasar yang luar biasa ini? Sebanyak apa startup yang diciptakan anak-anak Indonesia? Atau dalam bahasa populer yang digunakan dalam skena teknopreneur Indonesia, sejauh mana karya anak bangsa bisa bicara dalam persaingan ekonomi digital?
Menurut Daily Social Startup Report 2015, tahun lalu adalah tahun yang hebat untuk ekosistem perusahaan rintisan Indonesia. Meski masih terdapat banyak kendala, pertumbuhan industrinya terlihat super attractive dan mulai berdampak besar untuk masyararakat luas.
Salah satu faktor yang membuat iklim startup Indonesia tumbuh pesat pada 2015 adalah aliran dana investasi yang cukup besar. Setidaknya terdapat 70 catatan penanaman modal yang diumumkan secara terbuka--belum menghitung yang disepakati tertutup. Yang lebih semarak lagi, pertumbuhan signifikan dari penanaman modal ini semakin banyak dibukukan oleh angel investors.
Dari sejumlah perusahaan rintisan yang berhasil menggaet investor, sepuluh di antaranya dianggap Daily Social sebagai startup terbaik. Di antaranya adalah Go-Jek, sebuah aplikasi on demand service yang berdampak sangat besar bagi perilaku memilih moda transportasi orang-orang di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Karena keberhasilan Go-Jek, tren investasi teknologi di Indonesia pada 2016 diprediksi masih akan didominasi on demand service.
Kesempitan
Lalu bagaimana peran pemerintah dalam memfasilitasi berbagai perkembangan di atas?
Pada 2013, The Institute for Business in the Global Context mengeluarkan laporan menarik mengenai kesiapan negara-negara dalam menyambut ekonomi digital. Laporan ini merilis Digital Evolution Index (DEI) dari 50 negara--terdiri dari negara-negara maju dan berkembang, melingkupi 73 persen penduduk dunia. Sebanyak 50 negara yang dianggap memiliki euforia internet dan diprediksi pertumbuhannya bakal semakin cepat di kemudian hari.
DEI ini mengklasifikasi secara dinamis evolusi digital di 50 negara, dengan penjelasan-penjelasan penting untuk memahami ekosistem digital yang kompleks. Alih-alih memeringkat secara statis, DEI justru mengilustrasikan bagaimana negara-negara itu berevolusi dari waktu ke waktu. Pendekatan ini bukan hanya memungkinkan kita melihat model terbaik dari negara tertentu, melainkan juga dapat menelusuri sendiri perkembangan kita dan di bagian mana perbaikan kebijakan dapat dibuat.
DEI disusun berdasarkan faktor-faktor pendorong—sekaligus bisa jadi penghalang—yang mempengaruhi iklim digital satu negara: inovasi, regulasi, permintaan, dan penawaraan. Inovasi: ditentukan oleh sebaik apa ekosistem dan lanskap persaingan, kesiapan pengguna internet terhadap berbagai teknologi dan layanan baru, dan budaya bisnis rintisannya.
Regulasi: tergantung bagaimana efektivitas pemerintahan, kesehatan industri, dan kesiapan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat melalui internet. Sementara permintaan: dilihat dari profil dan demografi para konsumen, kesiapan metode pembayaran digital, dan keakraban dengan media sosial.
Terakhir, faktor penawaran: berdasarkan infrastruktur koneksi dan infrastruktur transaksi. Analisis atas keempat faktor ini, yang dilaksanakan selama priode 2008 hingga 2013, membantu kita memahami lebih dalam bagaimana lanskap digital bergerak, menampilkan pola, dan menyediakan wawasan tambahan berbasis data.
Hasilnya, DEI membagi 50 negara ke dalam empat kategori. Stand Out untuk negara-negara yang di masa lalu berada di level tertinggi dalam hal perkembangan digital dan akan terus melesat di masa depan. Stall Out: negara-negara yang dulu berkembang pesat, tetapi kini kehilangan momentum, dan di tahun-tahun mendatang besar kemungkinan akan tertinggal. Break Out: negara-negara yang punya potensi untuk melompat menjadi Stand Out. Dan Watch Out: negara-negara dengan skor terendah di masa kini dan proyeksi DEI mereka pun rendah.
Bisakah Anda menebak Indonesia masuk kategori mana? Ya, tepat, yang paling bontot: Watch Out. Peringkat 47 dari 50 negara. Sementara negara kecil tertangga terdekat kita, Singapura, berada di puncak klasemen Stand Out.
Tapi jangan khawatir dulu. Masih ada harapan. Seperti disinggung di atas, indeks ini tidak statis. DEI juga membuat empat klasifikasi lain untuk melihat pergerakan digital: rapidly advancing, slowly advancing, slowly receding, dan rapidly receding. Indonesia masuk yang bergerak maju meskipun lambat (slowly advancing), dengan skor 3,01. Ini dikarenakan di sisi inovasi dan permintaan Indonesia cukup bagus, dan lemah di sisi penawaran dan regulasi. Sebagai perbandingan, beberapa negara tetangga Asia Tenggara menunjukkan kemajuan pesat (rapidly advancing): selain Singapura (4,24), ada Malaysia (7,5), Thailand (6,59), Vietnam (5,54), dan Filipina (5,37).
Negara yang paling dahsyat kemajuan digitalnya adalah Cina, dengan skor 8,39.
Jika pemerintah benar-benar serius ingin mendorong sektor ini berkembang, langkah-langkah biasa saja tidak akan cukup. Perlu berbagai terobosan dalam hal regulasi dan pembangunan infastruktur digital—dua faktor yang Indonesia masih cukup terbelakang. Jika hanya memasang target sekian teknopreneur, tanpa ada perubahan radikal dalam regulasi, dan minim pembangunan infastruktur, bisa-bisa target itu hanya akan menjadi pepesan kosong.
Jika ingin Indonesia menjadi bangsa wirausaha, pemerintah perlu menciptakan iklim yang memudahkan untuk bisnis rintisan. Seperti yang telah dilakukan oleh Singapura berpuluh-puluh tahun. Singapura adalah contoh terbaik dan terdekat bagaimana pemerintah memfasilitasi dengan baik anak-anak mudanya memulai wirausaha. Menurut Bank Dunia, Singapura bercokol di peringkat satu dalam hal regulasi yang memudahkan bisnis. Indonesia masih jauh di bawah, di peringkat 102.
Di era Jokowi ini, ada empat kementerian yang berkoordinasi untuk hal-hal yang terkait wirausaha. Namun, sejauh ini belum ada langkah konkret yang diperlihatkan agar kewirausahaan benar-benar bergeliat. Belum terlihat jelas usaha pemerintah. Misalnya, menyediakan sumber daya pendukung, jaringan modal, ataupun pendampingan untuk startup, dan yang paling penting: pembenahan regulasi.
Keributan yang terjadi seputar moda transportasi konvensional versus yang berbasis aplikasi adalah contoh nyata bagaimana pemerintah lamban merespons perkembangan skena digital dengan regulasi yang pas. Belum lagi bila melihat kecenderungan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang, dalam hal regulasi, cenderung melarang-larang dan hobi blokir sana-sini. Kecenderungan ini menunjukkan, Kemenkominfo belum benar-benar siap menciptakan regulasi yang progresif untuk menopang lepas-landasnya ekonomi digital.
Di kantor Facebook, si CEO Mark Zuckerberg, yang seperti biasa berpenampilan kasual dengan kaos oblong abu-abu dan celana jeans biru, langsung mengajak Jokowi bermain ping-pong virtual dengan perangkat Oculus Rift. Mengenakan batik biru berlengan panjang, Jokowi langsung menjajal permainan mahal dan canggih itu. Jokowi menunjukkan dengan baik, betapa ia bersenang-senang di sana dan punya ketertarikan besar terhadap perkembangan teknologi dan inovasi di dunia digital.
Meski terlihat santai, kunjungan ini tentu saja bukan untuk main-main. Ditemani Ibu Negara Iriana yang memakai setelan kebaya berwarna werah dan jilbab pink, Presiden Jokowi membawa misi khusus di Silicon Valley. Ia melihat bahwa ekonomi digital adalah ekonomi masa depan, dan menginginkan sektor ini tumbuh pesat di Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Tak tanggung-tanggung, di sana, ia mencanangkan target untuk melahirkan seribu teknopreneur per 2020.
Di dinding kantor Plug and Play, perusahaan yang banyak berinvestasi untuk teknologi digital, Jokowi menulis: "Rintis bersama, sejahtera bersama." Ini merupakan pesan sekaligus sinyal keseriusan Jokowi mendorong perusahaan rintisan berbasis digital agar berperan lebih besar di bidang ekonomi.
"Saya harap Plug and Play ambil bagian dalam visi Indonesia menjadi pemain ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, yang akan mencapai USD 130 miliar pada 2020," kata Jokowi ketika bertemu Saeed Amidi, pendiri dan CEO Plug and Play.
Di Googleplex, Jokowi disambut CEO Google Sundar Pichai dengan makanan khas Indonesia untuk makan siang. Dalam kesempatan yang dihadiri oleh banyak karyawan Google asal Indonesia itu, Pichai setuju akan melatih 100.000 developer mobile di Indonesia, baik melalui kampus-kampus maupun kelompok-kelompok kreatif lainnya, sebelum 2020.
Bumi memang sedang dalam perjalanan menjadi planet digital. Semua negara, baik berlomba-lomba maupun tidak, dengan atau tanpa usaha, perlahan-lahan ikut melangkah ke sana. Peradaban digital menunggu di depan mata. Niat dan usaha pemerintahan Jokowi untuk membawa Indonesia terdepan dalam ekonomi digital tentu layak diacungi jempol.
Tapi, semudah itukah mewujudkan impian untuk memajukan perekonomian digital Indonesia? Apakah cukup dengan kunjungan presiden ke jantung peradaban digital? Jalan panjang dan berliku sepertinya masih harus dilalui. Selain tantangan, hambatan dan rintangan yang akan menghadang tidaklah sedikit dan bukan perkara sepele.
Internet sebagai Pasar Global
Dalam satu dan lain hal, internet telah menjadi semacam semangat zaman. Rasanya, tidak berlebihan jika milenium ketiga ini disebut sebagai era internet. Sebab, ia kini tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia di alam ini.
Dua puluh empat tahun setelah World Wide Web pertama kali dikenalkan, sekarang internet telah menjembatani interaksi kurang lebih 50 persen penduduk dunia. Hanya perlu waktu 12 tahun hingga pengguna internet mencapai 1 miliar. Di tahun-tahun berikutnya, ditemani perkembangan telepon genggam yang berpengaruh besar bagi internet – juga sebaliknya, pertumbuhan itu seperti tak bisa dibendung lagi. Hingga kini angkanya mencapai 3,3 miliar.
Pada mulanya, internet hanya dimanfaatkan sebagai sarana mencari informasi (browsing) dan surat-menyurat (email). Dalam perkembangan mutakhirnya, setelah booming media sosial, internet telah menjadi sarana untuk berbagai transaksi ekonomi. Bukan lagi pemandangan aneh jika hari-hari ini seseorang memenuhi nyaris semua kebutuhannya melalui ponsel, berbelanja (bahkan banyak juga yang berjualan) barang dan jasa melalui situs-situs e-commerce. Para pengguna internet kini tak lagi sekadar pengguna biasa. Dalam batas tertentu, mereka telah bertransformasi menjadi e-consumers.
Miliaran pengguna internet, yang kini terhubung satu sama lain hanya dengan ponsel, merupakan tanah yang menjanjikan untuk peluang-peluang bisnis baru dan lahan empuk bagi pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi. Pertumbuhan iklan digital demikian pesat, hingga mengancam segala promosi cetak dan fisik. Perlahan-lahan, internet mulai menjadi roda raksasa penggerak ekonomi global.
Kehebohan seputar Alibaba, perusahaan e-commerce asal Cina, merupakan contoh terbaik bagaimana internet semakin memainkan peran yang tidak kecil bagi perekonomian dunia. Alibaba, bersama raksasa e-commerce asal Amerika, Amazon, menjadi magnet bagi miliaran orang untuk beraktivitas ekonomi di sana. Para investor pun tak mau ketinggalan. Mereka mulai melihat peluang besar untuk berinvestasi di sektor ini.
Selain Amazon dan Alibaba, lahir sejumlah startup e-commerce lain di berbagai berlahan dunia. Mereka ikut meramaikan dan memperbanyak pilihan bagi para konsumen untuk belanja online. Untuk menyebut beberapa, di Afrika ada Jumia, Namshi di Timur Tengah, Jabong di India, Lazada dan Zalora di Asia Tenggara, dan Kaymu yang beroperasi melintasi Afrika, Asia, Eropa serta Timur Tengah.
Kesempatan Indonesia
Bukannya tanpa peluang, ekonomi digital Indonesia punya gugusan potensi besar yang tak dimiliki semua negara. Meski tidak didukung sistem pendidikan yang progresif, putera-puteri milenial Indonesia tumbuh menjadi generasi cerdas dan memiliki kemampuan luar biasa untuk bicara banyak di kancah global.
Di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia adalah berkah tersendiri, baik sebagai tenaga kerja untuk menopang perekonomian maupun sebagai pasar. Lebih dari itu, e-consumer Indonesia adalah yang paling menjanjikan di dunia. Setengah dari total 253 juta populasinya adalah anak muda di bawah usia 30 tahun.
Maka tak heran bila jumlah pengguna internet di Indonesia akan terus merangkak naik. Saat ini, jumlahnya mencapai 103 juta orang. Pada 2019, dengan asumsi Compound Annual Growth Rate (CAGR) per tahun 9,79 persen, diperkirakan jumlahnya akan membengkak hingga 133,5 juta pengguna. Sejalan dengan perkembangan global, pengakses internet melaui ponsel juga semakin banyak jumlahnya.
Dalam hal transaksi e-commerce, Indonesia bahkan menunjukkan pertumbuhan yang fantastis. Hingga akhir tahun 2015, jumlah transaksi e-consumer Indonesia telah mencapai USD 3,56 miliar, naik 42,4 persen dari tahun sebelumnya. Tahun ini, pertumbuhannya diestimasi akan mencapai 53,23 persen.
Semua data di atas adalah potensi pasar. Namun, sejatinya yang paling menentukan apakah Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam ekonomi digital adalah penciptaan teknologi itu sendiri. Bagaimana para tenaga kreatif Indonesia merespons pertumbuhan pasar yang luar biasa ini? Sebanyak apa startup yang diciptakan anak-anak Indonesia? Atau dalam bahasa populer yang digunakan dalam skena teknopreneur Indonesia, sejauh mana karya anak bangsa bisa bicara dalam persaingan ekonomi digital?
Menurut Daily Social Startup Report 2015, tahun lalu adalah tahun yang hebat untuk ekosistem perusahaan rintisan Indonesia. Meski masih terdapat banyak kendala, pertumbuhan industrinya terlihat super attractive dan mulai berdampak besar untuk masyararakat luas.
Salah satu faktor yang membuat iklim startup Indonesia tumbuh pesat pada 2015 adalah aliran dana investasi yang cukup besar. Setidaknya terdapat 70 catatan penanaman modal yang diumumkan secara terbuka--belum menghitung yang disepakati tertutup. Yang lebih semarak lagi, pertumbuhan signifikan dari penanaman modal ini semakin banyak dibukukan oleh angel investors.
Dari sejumlah perusahaan rintisan yang berhasil menggaet investor, sepuluh di antaranya dianggap Daily Social sebagai startup terbaik. Di antaranya adalah Go-Jek, sebuah aplikasi on demand service yang berdampak sangat besar bagi perilaku memilih moda transportasi orang-orang di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya.
Karena keberhasilan Go-Jek, tren investasi teknologi di Indonesia pada 2016 diprediksi masih akan didominasi on demand service.
Kesempitan
Lalu bagaimana peran pemerintah dalam memfasilitasi berbagai perkembangan di atas?
Pada 2013, The Institute for Business in the Global Context mengeluarkan laporan menarik mengenai kesiapan negara-negara dalam menyambut ekonomi digital. Laporan ini merilis Digital Evolution Index (DEI) dari 50 negara--terdiri dari negara-negara maju dan berkembang, melingkupi 73 persen penduduk dunia. Sebanyak 50 negara yang dianggap memiliki euforia internet dan diprediksi pertumbuhannya bakal semakin cepat di kemudian hari.
DEI ini mengklasifikasi secara dinamis evolusi digital di 50 negara, dengan penjelasan-penjelasan penting untuk memahami ekosistem digital yang kompleks. Alih-alih memeringkat secara statis, DEI justru mengilustrasikan bagaimana negara-negara itu berevolusi dari waktu ke waktu. Pendekatan ini bukan hanya memungkinkan kita melihat model terbaik dari negara tertentu, melainkan juga dapat menelusuri sendiri perkembangan kita dan di bagian mana perbaikan kebijakan dapat dibuat.
DEI disusun berdasarkan faktor-faktor pendorong—sekaligus bisa jadi penghalang—yang mempengaruhi iklim digital satu negara: inovasi, regulasi, permintaan, dan penawaraan. Inovasi: ditentukan oleh sebaik apa ekosistem dan lanskap persaingan, kesiapan pengguna internet terhadap berbagai teknologi dan layanan baru, dan budaya bisnis rintisannya.
Regulasi: tergantung bagaimana efektivitas pemerintahan, kesehatan industri, dan kesiapan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat melalui internet. Sementara permintaan: dilihat dari profil dan demografi para konsumen, kesiapan metode pembayaran digital, dan keakraban dengan media sosial.
Terakhir, faktor penawaran: berdasarkan infrastruktur koneksi dan infrastruktur transaksi. Analisis atas keempat faktor ini, yang dilaksanakan selama priode 2008 hingga 2013, membantu kita memahami lebih dalam bagaimana lanskap digital bergerak, menampilkan pola, dan menyediakan wawasan tambahan berbasis data.
Hasilnya, DEI membagi 50 negara ke dalam empat kategori. Stand Out untuk negara-negara yang di masa lalu berada di level tertinggi dalam hal perkembangan digital dan akan terus melesat di masa depan. Stall Out: negara-negara yang dulu berkembang pesat, tetapi kini kehilangan momentum, dan di tahun-tahun mendatang besar kemungkinan akan tertinggal. Break Out: negara-negara yang punya potensi untuk melompat menjadi Stand Out. Dan Watch Out: negara-negara dengan skor terendah di masa kini dan proyeksi DEI mereka pun rendah.
Bisakah Anda menebak Indonesia masuk kategori mana? Ya, tepat, yang paling bontot: Watch Out. Peringkat 47 dari 50 negara. Sementara negara kecil tertangga terdekat kita, Singapura, berada di puncak klasemen Stand Out.
Tapi jangan khawatir dulu. Masih ada harapan. Seperti disinggung di atas, indeks ini tidak statis. DEI juga membuat empat klasifikasi lain untuk melihat pergerakan digital: rapidly advancing, slowly advancing, slowly receding, dan rapidly receding. Indonesia masuk yang bergerak maju meskipun lambat (slowly advancing), dengan skor 3,01. Ini dikarenakan di sisi inovasi dan permintaan Indonesia cukup bagus, dan lemah di sisi penawaran dan regulasi. Sebagai perbandingan, beberapa negara tetangga Asia Tenggara menunjukkan kemajuan pesat (rapidly advancing): selain Singapura (4,24), ada Malaysia (7,5), Thailand (6,59), Vietnam (5,54), dan Filipina (5,37).
Negara yang paling dahsyat kemajuan digitalnya adalah Cina, dengan skor 8,39.
Jika pemerintah benar-benar serius ingin mendorong sektor ini berkembang, langkah-langkah biasa saja tidak akan cukup. Perlu berbagai terobosan dalam hal regulasi dan pembangunan infastruktur digital—dua faktor yang Indonesia masih cukup terbelakang. Jika hanya memasang target sekian teknopreneur, tanpa ada perubahan radikal dalam regulasi, dan minim pembangunan infastruktur, bisa-bisa target itu hanya akan menjadi pepesan kosong.
Jika ingin Indonesia menjadi bangsa wirausaha, pemerintah perlu menciptakan iklim yang memudahkan untuk bisnis rintisan. Seperti yang telah dilakukan oleh Singapura berpuluh-puluh tahun. Singapura adalah contoh terbaik dan terdekat bagaimana pemerintah memfasilitasi dengan baik anak-anak mudanya memulai wirausaha. Menurut Bank Dunia, Singapura bercokol di peringkat satu dalam hal regulasi yang memudahkan bisnis. Indonesia masih jauh di bawah, di peringkat 102.
Di era Jokowi ini, ada empat kementerian yang berkoordinasi untuk hal-hal yang terkait wirausaha. Namun, sejauh ini belum ada langkah konkret yang diperlihatkan agar kewirausahaan benar-benar bergeliat. Belum terlihat jelas usaha pemerintah. Misalnya, menyediakan sumber daya pendukung, jaringan modal, ataupun pendampingan untuk startup, dan yang paling penting: pembenahan regulasi.
Keributan yang terjadi seputar moda transportasi konvensional versus yang berbasis aplikasi adalah contoh nyata bagaimana pemerintah lamban merespons perkembangan skena digital dengan regulasi yang pas. Belum lagi bila melihat kecenderungan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang, dalam hal regulasi, cenderung melarang-larang dan hobi blokir sana-sini. Kecenderungan ini menunjukkan, Kemenkominfo belum benar-benar siap menciptakan regulasi yang progresif untuk menopang lepas-landasnya ekonomi digital.
sumber: https://tirto.id/kesempatan-dan-kesempitan-ekonomi-digital-indonesia-vxu
Indomonitoring: Kesempatan Dan Kesempitan Ekonomi Digital Indonesia >>>>> Download Now
ReplyDelete>>>>> Download Full
Indomonitoring: Kesempatan Dan Kesempitan Ekonomi Digital Indonesia >>>>> Download LINK
>>>>> Download Now
Indomonitoring: Kesempatan Dan Kesempitan Ekonomi Digital Indonesia >>>>> Download Full
>>>>> Download LINK